Bahasa sebagai Jati Diri
Jati diri—atau yang lazim juga disebut identitas—merupakan
ciri khas yang menandai seseorang, sekelompok orang, atau suatu bangsa. Jika
ciri khas itu menjadi milik bersama suatu bangsa, hal itu tentu menjadi penanda
jati diri bangsa tersebut. Seperti halnya bangsa lain, bangsa Indonesia juga
memiliki jati diri yang membedakannya dari bangsa yang lain di dunia. Jati diri
itu sekaligus juga menunjukkan keberadaan bangsa Indonesia di antara bangsa
lain. Salah satu simbol jati diri bangsa Indonesia itu adalah bahasa, dalam hal
ini tentu bahasa Indonesia. Hal itu sejalan dengan semboyan yang selama ini
kita kenal, yaitu “bahasa menunjukkan bangsa”.
Setiap bahasa pada dasarnya
merupakan simbol jati diri penuturnya, begitu pula halnya dengan bahasa
Indonesia juga merupakan simbol jati diri bangsa. Oleh karena itu, bahasa
Indonesia harus senantiasa kita jaga, kita lestarikan, dan secara terus-menerus
harus kita bina dan kita kembangkan agar tetap dapat memenuhi fungsinya sebagai
sarana komunikasi modern yang mampu membedakan bangsa kita dari bangsa-bangsa
lain di dunia. Lebih-lebih dalam era global seperti sekarang ini, jati diri
suatu bangsa menjadi suatu hal yang amat penting untuk dipertahankan agar
bangsa kita tetap dapat menunjukkan keberadaannya di antara bangsa lain di
dunia. Namun, bagaimana kondisi kebahasaan kita sebagai jati diri bangsa saat
ini?
Kalau kita lihat secara cermat,
kondisi kebahasaan di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan, terutama
penggunaan bahasa Indonesia di tempat umum, seperti pada nama bangunan, pusat
perbelanjaan, hotel dan restoran, serta kompleks perumahan, sudah mulai
tergeser oleh bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Tempat yang seharusnya
menggunakan bahasa Indonesia itu mulai banyak yang menggunakan bahasa yang
tidak lagi menunjukkan jati diri keindonesiaan. Akibatnya, wajah Indonesia
menjadi tampak asing di mata masyarakatnya sendiri. Kondisi seperti itu harus
kita sikapi dengan bijak agar kita tidak menjadi asing di negeri sendiri.
Di sisi lain, kita juga melihat
sikap sebagian masyarakat yang tampaknya merasa lebih hebat, lebih bergengsi,
jika dapat menyelipkan beberapa kata asing dalam berbahasa Indonesia, padahal
kosakata asing yang digunakannya itu ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Misalnya, sebagian masyarakat lebih suka menggunakan kata di-follow up-i,
di-pending, meeting, dan on the way. Padahal, kita
memiliki kata ditindaklanjuti untuk di-follow up-i, kata ditunda
untuk di-pending, pertemuan atau rapat untuk meeting,
dan sedang di jalan untuk on the way, lalu mengapa kita harus
menggunakan kata asing? Sikap yang tidak “menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia itu, harus kita kikis karena kita harus mengutamakan penggunaan
bahasa Indonesia sebagai simbol jati diri bangsa.
Tidak seharusnya kita membiarkan
bahasa Indonesia larut dalam arus komunikasi global yang menggunakan media
bahasa asing seperti itu. Jika hal seperti itu kita biarkan, tidak tertutup
kemungkinan jati diri keindonesiaan kita sebagai suatu bangsa pun akan pudar,
bahkan tidak tertutup kemungkinan terancam larut dalam arus budaya global. Jika
hal itu terjadi, jangankan berperan di tengah kehidupan global, menunjukkan
jati diri keindonesiaan kita sebagai suatu bangsa pun kita tidak mampu. Kondisi
seperti itu tentu tidak akan kita biarkan terjadi. Oleh karena itu, diperlukan
berbagai upaya agar jati diri bangsa kita tetap hidup di antara bangsa lain di
dunia. Dalam konteks kehidupan global seperti itu, bahasa Indonesia
sesungguhnya selain merupakan jati diri bangsa, sekaligus juga merupakan simbol
kedaulatan bangsa.
Selain bahasa Indonesia, sastra
Indonesia juga merupakan bagian dari simbol jati diri bangsa. Hal itu karena
sastra pada dasarnya merupakan pencerminan, ekspresi, dan media pengungkap tata
nilai, pengalaman, dan penghayatan masyarakat terhadap kehidupan sebagai suatu
bangsa. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terungkap dalam karya sastra
Indonesia pada dasarnya juga merupakan pencerminan dari jati diri bangsa
Indonesia.
Jika sebagai suatu bangsa, salah
satu simbol jati diri kita adalah bahasa dan sastra Indonesia; sebagai anggota
suatu komunitas etnis di Indonesia, simbol jati diri kita adalah bahasa dan
sastra daerah. Oleh karena itu, sebagai suatu simbol jati diri kedaerahan,
bahasa dan sastra daerah juga harus kita jaga dan kita pelihara untuk
menunjukkan jati diri dan kebanggaan kita sebagai anggota masyarakat daerah.
Sebagai warga negara Indonesia, kita
tidak boleh kehilangan jati diri kita sebagai suatu bangsa dan sebagai putra
daerah, kita tidak boleh kehilangan jati diri kedaerahan kita agar kita tidak
tercerabut dari akar budayanya. Sebagai putra daerah, kita tidak boleh
kehilangan jati diri kedaerahannya, dan sebagai putra Indonesia, kita tidak
boleh kehilangan jati diri kita sebagai suatu bangsa.
Selain terungkap dalam simbol bahasa
dan sastra, jati diri kita tercermin pula dari kekayaan seni budaya, adat
istiadat atau tradisi, tata nilai, dan juga perilaku budaya masyarakat. Terkait
dengan itu, Indonesia amat kaya akan keragaman seni budaya, adat istiadat atau
tradisi, dan juga tata nilai dan perilaku budaya. Sebagai unsur kekayaan budaya
bangsa, seni budaya, adat istiadat atau tradisi, tata nilai, dan perilaku
budaya perlu dilestarikan dan dikembangkan sebagai simbol yang dapat mencerminkan
jati diri bangsa, baik dalam kaitannya dengan jati diri lokal maupun jati diri
nasional.
Satu hal lagi yang dapat menjadi
simbol jati diri adalah kearifan lokal. Hampir setiap daerah di Indonesia
memiliki kearifan lokal yang merupakan pencerminan sikap, perilaku, dan tata
nilai komunitas pendukungnya. Kearifan lokal itu dapat digali dari berbagai
sumber yang hidup di masyarakat, yang diwariskan secara turun-temurun dari
generasi leluhurnya dalam bentuk pepatah, tembang, permainan, syair, kata bijak,
dan berbagai bentuk lain. Kearifan lokal itu sarat nilai yang dapat
diimplementasikan dalam kehidupan masa kini yang dapat memperkuat kepribadian
dan karakter masyarakat, serta sekaligus sebagai penyaring pengaruh budaya dari
luar.
Sebagai simbol jati diri bangsa,
bahasa Indonesia harus terus dikembangkan agar tetap dapat memenuhi fungsinya
sebagai sarana komunikasi yang modern dalam berbagai bidang kehidupan. Di
samping itu, mutu penggunaannya pun harus terus ditingkatkan agar bahasa
Indonesia dapat menjadi sarana komunikasi yang efektif dan efisien untuk
berbagai keperluan. Upaya ke arah itu kini telah memperoleh landasan hukum yang
kuat, yakni dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Undang-undang
tersebut merupakan amanat dari Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan sekaligus merupakan realisasi dari tekad para pemuda
Indonesia sebagaimana diikrarkan dalam Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928,
yakni menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Dalam menjalani kehidupan pada era
global saat ini, jati diri lokal ataupun jati diri nasional tetap merupakan
suatu hal yang amat penting untuk dipertahankan agar kita tetap dapat
menunjukkan keberadaan kita sebagai suatu bangsa. Jati diri itu sama pentingnya
dengan harga diri. Jika tanpa jati diri, berarti kita tidak memiliki harga
diri. Atas dasar itu, agar menjadi suatu bangsa yang bermartabat, jati diri
bangsa itu harus diperkuat, baik yang berupa bahasa dan sastra, seni budaya,
adat istiadat, tata nilai, maupun perilaku budaya dan kearifan lokalnya.
Untuk memperkuat jati diri itu, baik
yang lokal maupun nasional, diperlukan peran serta berbagai pihak dan dukungan
aturan serta sumber daya yang memadai. Peran serta masyarakat juga sangat
diperlukan dalam memperkuat jati diri bangsa itu. Dengan jati diri yang kuat,
bangsa kita akan makin bermartabat sehingga mampu berperan—bahkan juga
bersaing—dalam kancah kehidupan global.***