Jumat, 31 Mei 2013

cinta dan perkawinan

A. Bagaimana memilih pasangan.
Memilih pasangan atau jodoh bukan hal yang sulit jika tahu rumusnya dan akan menjadi sulit jika tidak mengetahui rumusnya. Melakukan istikharoh bagi yang muslim perlu dilakukan agar dipilihkan yang terbaik oleh yuhan. Tapi apakah kita tidak bisa menetapkan pasangan kita sendiri ? mungkin bisa tetapi tidak bisa akurat seperti yang sudah terlebih dahulu pengalaman.

Pertama Tuhan adalah penguasa dan pemilik serta penentu jodoh kita. Hanya dia yang bisa menjadi pemilih yang sempurna dan paling tahu tentang calon pasangan kita. Maka kedua adalah orang-orang yang dekat dengan tuhan yang bisa menentukan pasangan yang baik untuk dipilih. ketiga dimiliki oleh orang tua kita karena faktore kasih sayang dan kesungguhannya kepada kita sehingga sangat serius untuk memilihkan kita. Bagaimana dengan diri sendiri ? kadang tidak bisa diandalkan karena kurangnya pengalaman, atau memilih karena nafsu,emosi dan kepentingan lain bukan kepentingan abadi.

Beanikah kita menyerahkan pilihan kita kepada orang yang lebih tahu luar dan dalam serta pengalaman hidup yang cukup ? berusaha menjadikan kita pantas mendapatkan pasangan yang memang cocok dengan pengertian orang baik akan bertemu orang baik itu cocok dan yang jelek hatinya akan bertemu dengan yang jelek juga. Serahkan kepada tuhan dan berusaha taat dan memantaskan diri sendiri. Menjadi orang yang dekat kepada tuhan akan menjadikan diri kita beruntung

B. Seluk - beluk hubungan dalam perkawinan
Perceraian dalam tinjauan sosiologis adalah sebuah kajian yang membahas seluk beluk perceraian dari sudut pandang sosial kemasyarakatan (sosiologis). Secara sosiologis dalam teori pertukaran, perkawinan digambarkan sebagai pertukaran antara hak dan kewajiban serta penghargaan dan kehilangan yang terjadi antara suami dan istri (Karim dalam Ihromi, 1999). Sebuah perkawinan membutuhkan kesepakatan-kesepakatan bersama dalam mendukung proses pertukaran tersebut. Jika terdapat suatu ketidakseimbangan dalam proses pertukaran yang berarti adanya salah satu pihak yang diuntungkan dan dirugikan, serta akhirnya tidak mempunyai kesepakatan yang memuaskan ke dua belah pihak.
Perceraian merupakan terputusnya hubungan antara suami istri, yang dalam hal ini adalah cerai hidup yang disebabkan oleh kegagalan suami atau istri dalam menjalankan obligasi peran masing-masing. Dimana perceraian dipahami sebagai akhir dari ketidakstabilan perkawinan antara suami istri yang selanjutnya hidup secara terpisah dan diakui secara sah berdasarkan hukum yang berlaku.
Hubungan suami-istri juga dapat dilihat dan dibedakan berdasarkan pola perkawinan yang ada dalam masyarakat. Scanzoni dan Scanzoni (1981) mengkatagorikannya ke dalam empat bentuk pola perkawinan yaitu owner property, head complement, senior junior partner dan equal partner. Kestabilan keluarga tampak lebih kondusif berlangsung dalam pola perkawinan kedua dan ke tiga dimana posisi istri mulai berkembang menjadi pelengkap suami dan teman yang saling membantu dalam mengatur kehidupan bersama. Sementara itu hal sebaliknya dapat terjadi pada pola perkawinan equal partner.
Pengakuan hak persamaan kedudukan dengan pria menyebabkan semakin tidak tergantungnya istri pada suami. Istri mendapat dukungan dan pengakuan dari orang lain karena kemampuannya sendiri dan tidak dikaitkan dengan suami. Di antara ke empat pola ini menjelaskan tingkat perceraian cenderung lebih tinggi pada pola perkawinan owner properti. Oleh karena pola perkawinan owner property berasumsi bahwa istri adalah milik suami, seperti halnya barang-barang berharga lainnya di dalam keluarga itu yang merupakan miliki dan tanggung jawab suami. Istri sangat tergantung secara sosial ekonomi kepada suami. Akibat dari pola perkawinan seperti ini suami berhak menceraikan istrinya apabila tidak merasakan mendapat kepuasaan yang diinginkan ataupun tidak menyukai istrinya lagi.
Seperti yang terungkap dalam penelitian Fachrina (2006) mengenai Pandangan Masyarakat mengenai Perceraian (studi kasus cerai gugat pada masyarakat perkotaan), dimana masyarakat masih memposisikan pihak istri sebagai pihak yang bersalah apabila terjadi perceraian. Dalam hal ini istri dianggap menjadi penyebab perceraian. Mengapa pasangan ini bercerai, lebih cenderung dicermati sebagai akibat dari berbagai kekurangan dari pihak istri. Masyarakat masih menerima persepsi bahwa istri yang baik, menjadi idaman adalah istri yang mematuhi perintah suami dan mengurusi rumah tangga, serta merawat anak-anak, melayani dan menyiapkan keperluan suami.
Perubahan tingkat perceraian dan faktor penyebabnya, merupakan indikasi terjadinya perubahan sosial lainnya dalam masyarakat. Sistem sosial sedang bergerak cepat atau lambat ke arah suatu bentuk sistem keluarga konjugal dan juga ke arah industrialisasi. Perubahan sistem keluarga menyesuaikan diri pada kebutuhan industrialisasi. Dengan industrialisasi keluarga tradisional (sistem keluarga yang diperluas atau gabungan) sedang mengalami kehancuran, dimana keluarga konjugal (keluarga inti) cocok dengan kebutuhan industrialisasi (Goode, 2007)
Sanak saudara baik secara hubungan karena perkawinan ataupun karena hubungan darah secara relatif tidak diikut sertakan dalam pengambilan keputusan sehari-hari dalam keluarga konjugal. Setiap orang mempunyai kebebasan dan menentukan calon pasangan hidupnya sendiri dan selanjutnya pasangan suami istri lebih banyak berbuat terhadap kehidupan keluarga masing-masing. Keluarga luas tidak lagi menyangga pasangan suami istri, dan tidak banyak menerima bantuan dari kerabat, begitu juga sebaliknya. Keluarga luas lebih dapat bertahan daripada keluarga kecil yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Oleh karena itu angka perceraian dalam sistem keluarga konjugal cenderung tinggi (Goode, 2007).
Dalam perkembangan sekarang ini dapat dikatakan bahwa masyarakat tidak memandang perceraian sebagai hal yang tabu, artinya perbuatan ini bukan sesuatu yang memalukan dan harus dihindari. Di sini Goode berpendapat bahwa penilaian atau pandangan yang menganggap perceraian sebagai suatu pernyataan kegagalan adalah bias. Sistem perkawinan adalah berasal dari perbedaan-perbedaan kepentingan, keinginan, kebutuhan,dan nafsu, serta dari latar belakang sosial budaya dan ekonomi yang juga berbeda. Ketegangan-ketegangan dan ketidakbahagian adalah lazim ada pada setiap perkawinan. Akhirnya pada tingkat tertentu masyarakat dapat memberikan toleransi umum dan memahami bahwa perceraian adalah merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh bagi penyelesaian akhir dari perselisihan suami istri.


C. Penyesuaian dan pertumbuhan dalam perkawinan.
            Perkawinan tidak berarti mengikat pasangan sepenuhnya. Dua individu ini harus dapat mengembangkan diri untuk kemajuan bersama. Keberhasilan dalam perkawinan tidak diukur dari ketergantungan pasangan. Perkawinan merupakan salah satu tahapan dalam hidup yang pasti diwarnai oleh perubahan. Dan perubahan yang terjadi dalam sebuah perkawinan, sering tak sederhana. Perubahan yang terjadi dalam perkawinan banyak terkait dengan terbentuknya relasi baru sebagai satu kesatuan serta terbentuknya hubungan antarkeluarga kedua pihak.
Relasi yang diharapkan dalam sebuah perkawinan tentu saja relasi yang erat dan hangat. Tapi karena adanya perbedaan kebiasaan atau persepsi antara suami-istri, selalu ada hal-hal yang dapat menimbulkan konflik. Dalam kondisi perkawinan seperti ini, tentu sulit mendapatkan sebuah keluarga yang harmonis.
Pada dasarnya, diperlukan penyesuaian diri dalam sebuah perkawinan, yang mencakup perubahan diri sendiri dan perubahan lingkungan. Bila hanya mengharap pihak pasangan yang berubah, berarti kita belum melakukan penyesuaian.
Banyak yang bilang pertengkaran adalah bumbu dalam sebuah hubungan. Bahkan bisa menguatkan ikatan cinta. Hanya, tak semua pasangan mampu mengelola dengan baik sehingga kemarahan akan terakumulasi dan berpotensi merusak hubungan.
D. Perceraian dan pernikahan kembali
            Pernikahan bukanlah akhir kisah indah bak dongeng cinderella, namun dalam perjalanannya, pernikahan justru banyak menemui masalah. Menikah Kembali setelah perceraian mungkin menjadi keputusan yang membingungkan untuk diambil. Karena orang akan mencoba untuk menghindari semua kesalahan yang terjadi dalam perkawinan sebelumnya dan mereka tidak yakin mereka bisa memperbaiki masalah yang dialami. Mereka biasanya kurang percaya dalam diri mereka untuk memimpin pernikahan yang berhasil karena kegagalan lama menghantui mereka dan membuat mereka ragu-ragu untuk mengambil keputusan.
Apa yang akan mempengaruhi peluang untuk menikah setelah bercerai? Ada banyak faktor. Misalnya seorang wanita muda pun bisa memiliki kesempatan kurang dari menikah lagi jika dia memiliki beberapa anak. Ada banyak faktor seperti faktor pendidikan, pendapatan dan sosial.
Sebagai manusia, kita memang mempunyai daya tarik atau daya ketertarikan yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua hal yang telah kita miliki dan nikmati untuk suatu periode tertentu akan kehilangan daya tariknya. Misalnya, Anda mencintai pria yang sekarang menjadi pasangan karena kegantengan, kelembutan dan tanggung jawabnya. Lama-kelamaan, semua itu berubah menjadi sesuatu yang biasa. Itu adalah kodrat manusia. Sesuatu yang baru cenderung mempunyai daya tarik yang lebih kuat dan kalau sudah terbiasa daya tarik itu akan mulai menghilang pula. Ada kalanya, hal-hal yang sama, yang terus-menerus kita lakukan akan membuat jenuh dalam pernikahan.
Esensi dalam pernikahan adalah menyatukan dua manusia yang berbeda latar belakang. Untuk itu kesamaan pandangan dalam kehidupan lebih penting untuk diusahakan bersama.
Jika ingin sukses dalam pernikahan baru, perlu menyadari tentang beberapa hal tertentu, jangan biarkan kegagalan masa lalu mengecilkan hati. Menikah Kembali setelah perceraian bisa menjadi pengalaman menarik. tinggalkan masa lalu dan berharap untuk masa depan yang lebih baik.
E. Single Life
            Paradigma terhadap lajang cenderung memojokkan. pertanyaannya kapan menikah?? Ganteng-ganteng kok ga menikah? Apakah Melajang Sebuah Pilihan??
Ada banyak alasan untuk tetap melajang. Perkembangan jaman, perubahan gaya hidup, kesibukan pekerjaan yang menyita waktu, belum bertemu dengan pujaan hati yang cocok, biaya hidup yang tinggi, perceraian yang kian marak, dan berbagai alasan lainnya membuat seorang memilih untuk tetap hidup melajang. Batasan usia untuk menikah kini semakin bergeser, apalagi tingkat pendidikan dan kesibukan meniti karir juga ikut berperan dalam memperpanjang batasan usia seorang untuk menikah. Keputusan untuk melajang bukan lagi terpaksa, tetapi merupakan sebuah pilihan. Itulah sebabnya, banyak pria dan perempuan yang memilih untuk tetap hidup melajang.
Persepsi masyarakat terhadap orang yang melajang, seiring dengan perkembangan jaman, juga berubah. Seringkali kita melihat seorang yang masih hidup melajang, mempunyai wajah dan penampilan di atas rata-rata dan supel. Baik pelajang pria maupun wanita, mereka pun pandai bergaul, memiliki posisi pekerjaan yang cukup menjanjikan, tingkat pendidikan yang baik.
Alasan yang paling sering dikemukakan oleh seorang single adalah tidak ingin kebebasannya dikekang. Apalagi jika mereka telah sekian lama menikmati kebebasan bagaikan burung yang terbang bebas di angkasa. Jika hendak pergi, tidak perlu meminta ijin dan menganggap pernikahan akan membelenggu kebebasan. Belum lagi jika mendapatkan pasangan yang sangat posesif dan cemburu.
Banyak perusahaan lebih memilih karyawan yang masih berstatus lajang untuk mengisi posisi tertentu. Pertimbangannya, para pelajang lebih dapat berkonsentrasi terhadap pekerjaan. Hal ini juga menjadi alasan seorang tetap hidup melajang.
Banyak pria menempatkan pernikahan pada prioritas kesekian, sedangkan karir lebih mendapat prioritas utama. Dengan hidup melayang, mereka bisa lebih konsentrasi dan fokus pada pekerjaan, sehingga promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah diperoleh. Biasanya, pelajang lebih bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke luar kota dalam jangka waktu yang lama, dibandingkan karyawan yang telah menikah.
Kemapanan dan kondisi ekonomi pun menjadi alasan tetap melajang. Pria sering kali merasa kurang percaya diri jika belum memiliki kendaraan atau rumah pribadi. Sementara, perempuan lajang merasa senang jika sebelum menikah bisa hidup mandiri dan memiliki karir bagus. Mereka bangga memiliki sesuatu yang dihasilkan dari hasil keringat sendiri. Selain itu, ada kepuasaan tersendiri.
Banyak yang mengatakan seorang masih melajang karena terlalu banyak memilih atau ingin mendapat pasangan yang sempurna sehingga sulit mendapatkan jodoh. Pernikahan adalah untuk seumur hidup. Rasanya tidak mungkin menghabiskan masa hidup kita dengan seorang yang tidak kita cintai. Lebih baik terlambat menikah daripada menikah akhirnya berakhir dengan perceraian.
Lajang pun lebih mempunyai waktu untuk dirinya sendiri, berpenampilan lebih baik, dan dapat melakukan kegiatan hobi tanpa ada keberatan dari pasangan. Mereka bebas untuk melakukan acara berwisata ke tempat yang disukai dengan sesama pelajang.
Pelajang biasanya terlihat lebih muda dari usia sebenarnya jika dibandingkan dengan teman-teman yang berusia sama dengannya, tetapi telah menikah.
Ketika diundang ke pernikahan kerabat, pelajang biasanya menghindarinya. Kalaupun datang, mereka berusaha untuk berkumpul dengan para sepupu yang masih melajang dan sesama pelajang. Hal ini untuk menghindari pertanyaan singkat dan sederhana dari kerabat yang seusia dengan orangtua mereka. Kapan menikah? Kapan menyusul? Sudah ada calon? Pertanyaan tersebut, sekalipun sederhana, tetapi sulit untuk dijawab oleh pelajang.
Seringkali, pelajang juga menjadi sasaran keluarga untuk dicarikan jodoh, terutama bila saudara sepupu yang seumuran telah menikah atau adik sudah mempunyai pacar. Sementara orangtua menginginkan agar adik tidak melangkahi kakak, agar kakak tidak berat jodoh.
Tidak dapat dipungkuri, sebenarnya lajang juga mempunyai keinginan untuk menikah, memiliki pasangan untuk berbagi dalam suka dan duka. Apalagi melihat teman yang seumuran yang telah memiliki sepasang anak yang lucu dan menggemaskan. Bisa jadi, mereka belum menemukan pasangan atau jodoh yang cocok di hati. Itulah alasan mereka untuk tetap menjalani hidup sebagai lajang.
Melajang adalah sebuah sebuah pilihan dan bukan terpaksa, selama pelajang menikmati hidupnya. Pelajang akan mengakhiri masa lajangnya dengan senang hati jika telah menemukan seorang yang telah cocok di hati.
Kehidupan melajang bukanlah sebuah hal yang perlu ditakuti. Bukan pula sebuah pemberontakan terhadap sebuah ikatan pernikahan. Hanya, mereka belum ketemu jodoh yang cocok untuk berbagi dalam suka dan duka serta menghabiskan waktu bersama di hari tua.

Arus modernisasi dan gender membuat para perempuan Indonesia dapat menempati posisi yang setara bahkan melebihi pria. Bahkan sekarang banyak perempuan yang mempunyai penghasilan lebih besar dari pria. Ditambah dengan konsep pilihan melajang, terutama kota-kota besar, mendorong perempuan Indonesia untuk hidup sendiri.
           
DAFTAR PUSTAKA:
Adhim, Mohammad Fauzil (2002) Indahnya Perkawinan Dini Jakarta: Gema Insani Press (GIP)
Miftachr, 2010. Pengertian Munakahat Pernikahan, Artikel, (Tersedia online di http://miftachr.blog.uns.ac.id/2010/04/pengertian-munakahat-pernikahan/ diakses pada tanggal 6 Mei 2011).
Artikel ini bisa anda baca juga di : SINICHI-NET
http://21juli1991.blogspot.com/2013/05/cinta-dan-perkawinan.html
http://www.psychologymania.com/2012/08/perceraian-dalam-tinjauan-sosiologis.html
http://www.siswo.web.id/2013/02/bagaimana-cara-memilih-pasangan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger